Minggu, 25 April 2010

PROPOSAL PKM-P yang dibiayai dikti WAHYU WIDAGDA

A. JUDUL : Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tongkol (Euthynnus
affinis) Lokal Singaraja sebagai Alternatif Penyerap
Logam Berat Timbal (Pb)
B. LATAR BELAKANG
Pencemaran air dari industri tekstil dapat berasal dari buangan air proses
produksi, buangan sisa-sisa pelumas dan minyak, buangan bahan-bahan kimia sisa
proses produksi, sampah potongan kain, dan lainnya. Pewarnaan dan pembilasan
menghasilkan air limbah yang berwarna dengan COD (Chemical Oxyden
Demand) tinggi dan bahan-bahan lain dari zat warna yang dipakai, seperti fenol
dan logam. Jenis limbah yang dihasilkan industri tekstil adalah, logam berat
terutama Arsenik, kadmium (Cd), krom (Cr), timbal (Pb), tembaga (Cu), zinc atau
seng (Zn), Hidrokarbon terhalogenasi (dari proses dressing dan finishing), zat
warna dan pelarut organik (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).
Prinsip yang digunakan untuk mengolah limbah cair secara kimia adalah
menambahkan bahan kimia (koagulan) yang dapat mengikat bahan pencemar
yang dikandung air limbah, kemudian memisahkannya (mengendapkan atau
mengapungkan). Pada umumnya bahan seperti aluminium sulfat (tawas), fero
sulfat, poli amonium khlorida atau poli elektrolit organik dapat digunakan sebagai
koagulan dan flokulan. Industri tekstil menggunakan logam berat sebagai bahan
pengikat warna agar warna yang dihasilkan menjadi lebih terang dan indah.
Bahkan ada beberapa industri tekstil yang menggunakan logam berat sebagai
bahan pewarna. Sehingga untuk mengolah limbah cair yang dihasilkan
memerlukan suatu proses yang ramah lingkungan (Widodo dkk, 2006).
Istilah logam berat menunjuk pada logam yang mempunyai berat jenis
lebih tinggi dari 5 atau 6 g/cm3. Namun pada kenyataannya dalam pengertian
logam berat ini, dimasukkan pula unsur-unsur metaloid yang mempunyai sifat
berbahaya seperti logam berat sehingga jumlah seluruhnya mencapai lebih kurang
40 jenis. Beberapa logam berat yang beracun tersebut adalah As, Cd. Cr, Cu, Pb,
Hg, Ni, dan Zn (Wild, 1995).
Pada dasarnya alam mempunyai mekanisme untuk mengurangi pengaruh
negatif penumpukan logam berat terhadap ekosistem. Namun demikian sering
A. JUDUL : Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tongkol (Euthynnus
affinis) Lokal Singaraja sebagai Alternatif Penyerap
Logam Berat Timbal (Pb)
2
terjadi penumpukan logam berat yang melebihi kemampuan alam untuk
memprosesnya. Hal tersebut dapat menimbulkan bahaya secara beruntun,
mengingat saling ketergantungan yang terjadi antara komponen-komponen
ekosistem. Manusia adalah makluk yang paling bertanggung jawap terhadap
peningkatan mobilisasi, perpindahan dan akumulasi logam berat di lingkungan
(Nugroho, 2001).
Untuk mengurangi pencemaran oleh logam berat berbagai metode
alternatif telah banyak digunakan seperti dengan cara mengurangi konsentrasi
logam berat yang akan dibuang ke perairan, tetapi dalam jangka waktu yang lama,
perlakuan tersebut dapat merusak lingkungan akibat dari akumulasi logam berat
yang tidak sebanding dengan masa “recovery” (perbaikan) dari lingkungan itu
sendiri. Teknik yang lebih baik dari teknik di atas adalah penetralan logam berat
yang aktif menjadi senyawa yang kurang aktif dengan menambahkan senyawasenyawa
tertentu, kemudian dilepas ke lingkungan perairan, namun pembuangan
logam berat non-aktif juga menjadi masalah karena dapat dengan mudah
mengalami degradasi oleh lingkungan menjadi senyawa yang dapat mencemari
lingkungan. Cara lain adalah reverse osmosis, elektrodialisis, ultrafiltrasi dan
resin penukar ion. Reverse osmosis adalah proses pemisahan logam berat oleh
membran semipermeabel dengan menggunakan perbedaan tekanan luar dengan
tekanan osmotik dari limbah, kerugian sistem ini adalah biaya yang mahal
sehingga sulit terjangkau oleh industri di Indonesia. Teknik elektrodialisis
menggunakan membran ion selektif permeabel berdasarkan perbedaan potensial
antara 2 elektroda yang menyebabkan perpindahan kation dan anion, juga
menimbulkan kerugian yakni terbentuknya senyawa logam-hidroksi yang
menutupi membran, sedangkan melalui ultrafiltrasi yaitu penyaringan dengan
tekanan tinggi melalui membran berpori, juga merugikan karena menimbulkan
banyak sludge (lumpur). Resin penukar ion berprinsip pada gaya elektrostatik di
mana ion yang terdapat pada resin ditukar oleh ion logam dari limbah, kerugian
metode ini adalah biaya yang besar dan menimbulkan ion yang ter-remove
sebagian (Evan.P dan Angga.P, 2003).
Salah satu logam berat yang berbahaya adalah timbal (Pb). Timbal atau
dikenal sebagai logam Pb dalam susunan unsur merupakan logam berat yang
3
terdapat secara alami di dalam kerak bumi dan tersebar ke alam dalam jumlah
kecil melalui proses alami. Apabila timbal terhirup atau tertelan oleh manusia dan
di dalam tubuh, ia akan beredar mengikuti aliran darah, diserap kembali di dalam
ginjal dan otak, dan disimpan di dalam tulang dan gigi. Manusia menyerap timbal
melalui udara, debu, air dan makanan. Salah satu penyebab kehadiran timbal
adalah pencemaran udara. Yaitu akibat kegiatan transportasi darat yang
menghasilkan bahan pencemar seperti gas CO3, NO2, hidrokarbon, SO2,dan
tetraethyl lead, yang merupakan bahan logam timah hitam (timbal) yang
ditambahkan ke dalam bahan bakar berkualitas rendah untuk menurunkan nilai
oktan (Fuadi, 2007).
Logam berat timbal dapat diikat atau diserap oleh gelatin selain daripada
protein. Gelatin adalah derivat protein dari serat kolagen yang ada pada kulit,
tulang, dan tulang rawan hewan. Susunan asam aminonya hampir mirip dengan
kolagen, dimana glisin sebagai asam amino utama dan merupakan 2/3 dari seluruh
asam amino yang menyusunnya, 1/3 asam amino yang tersisa diisi oleh prolin dan
hidroksiprolin (Chaplin, 2005).
Tulang ikan juga tersusun atau mengandung gelatin, dengan cara
mengekstraksi tulang ikan maka akan didapatkan gelatin. Tulang ikan yang
dipergunakan adalah tulang dari ikan tongkol (Euthynnus affinis). Ikan tongkol
adalah salah satu jenis ikan yang dipasarkan di masyarakat(Junianto, 2006).
Mengingat tulang ikan sedikit penggunaannya, maka penulis merekomendasikan
kalau limbah tulang ikan (dalam bentuk serbuk) sebagai salah satu alternatif
penyerap logam berat timbal(Pb). Selain itu juga membantu dalam pemanfaatan
hasil perikanan secara optimal.
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apakah serbuk tulang ikan tongkol (Euthynnus affinis) dapat digunakan
sebagai bahan penyerap logam Pb (timbal)?
2. Berapa kadar logam Pb yang dapat diserap oleh serbuk tulang ikan tongkol
(Euthynnus affinis)?
4
D. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui apakah serbuk tulang ikan tongkol (Euthynnus affinis) dapat
digunakan sebagai bahan penyerap logam Pb.
2. Mengetahui berapakah kadar logam Pb yang dapat diserap oleh serbuk
tulang ikan tongkol (Euthynnus affinis).
E. LUARAN
Luaran yang diharapkan dalam penelitian ini adalah pengembangan
pengetahuan dalam bentuk publikasi tentang cara penyerapan logam timbal (Pb)
oleh serbuk tulang ikan tongkol (Euthynnus affinis) lokal Singaraja, serta adanya
paten yang bermanfaat melindungi hak cipta/karya.
F. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk
mengembangkan suatu model dalam penanganan limbah yang efektif dan efisien
serta berkelanjutan untuk mengatasi pencemaran timbal (Pb) pada khususnya
dalam skala lab.
G. TINJAUAN PUSTAKA
G.1 Timbal (Pb)
Timbal atau dikenal sebagai logam Pb dalam susunan unsur merupakan
logam berat yang terdapat secara alami di dalam kerak bumi dan tersebar ke alam
dalam jumlah kecil melalui proses alami. Apabila timbal terhirup atau tertelan
oleh manusia dan di dalam tubuh, ia akan beredar mengikuti aliran darah, diserap
kembali di dalam ginjal dan otak, dan disimpan di dalam tulang dan gigi.
Manusia menyerap timbal melalui udara, debu, air dan makanan. Salah
satu penyebab kehadiran timbal adalah pencemaran udara. Yaitu akibat kegiatan
transportasi darat yang menghasilkan bahan pencemar seperti gas CO3, NO2,
hidrokarbon, SO3,dan tetraethyl lead, yang merupakan bahan logam timah hitam
5
(timbal) yang ditambahkan ke dalam bahan bakar berkualitas rendah untuk
menurunkan nilai oktan.
Timbal di udara terutama berasal dari penggunaan bahan bakar bertimbal
yang dalam pembakarannya melepaskan timbal oksida berbentuk debu/partikulat
yang dapat terhirup oleh manusia. Mobil berbahan bakar yang mengandung timbal
melepaskan 95 persen timbal yang mencemari udara di negara berkembang.
Sedangkan dalam air minum, timbal dapat berasal dari kontaminasi pipa, solder
dan kran air. Kandungan timbal dalam air sebesar 15mg/l dianggap sebagai
konsentrasi yang aman untuk dikonsumsi. Dalam makanan, timbal berasal dari
kontaminasi kaleng makanan dan minuman dan solder yang bertimbal.
Kandungan timbal yang tinggi ditemukan dalam sayuran terutama sayuran hijau
(Fuadi, 2006).
Penelitian menunjukkan bahwa timbal yang terserap oleh anak, walaupun
dalam jumlah kecil, dapat menyebabkan gangguan pada fase awal pertumbuhan
fisik dan mental yang kemudian berakibat pada fungsi kecerdasan dan
kemampuan akademik. Anak perkotaan di negara berkembang memiliki risiko
yang tinggi dalam keracunan timbal. Menurut US Centre for Disease Control and
Prevention, diperkirakan pada 1994, sebanyak 100 persen darah dari anak
berumur di bawah dua tahun mengandung timbal yang melampaui ambang batas
10mg/dl dan 80 persen darah dari anak 3-5 tahun melebihi ambang batas tersebut.
Anak yang tinggal atau bermain di jalan raya sering menghirup timbal dari asap
kendaraan yang menggunakan bahan bakar bertimbal. Baru-baru ini dilakukan
penelitian mengenai hal tersebut.
Jika hasil penelitian itu kelak dapat menyimpulkan bahwa kadar timbal
dalam darah anak tidak lebih baik daripada penelitian pada 2001, kecurigaan
yang mungkin muncul beralih pada pola konsumsi anak-anak, misalnya kebiasaan
mengonsumsi makanan dalam kaleng. Di negara yang maju sekalipun,
diperkirakan masih banyak anak yang darahnya mengandung timbal melebihi
ambang batas. Diperkirakan 78 persen anak berumur di bawah dua tahun dan 28
persen anak berumur 3-5 tahun memiliki kandungan timbal dalam darah yang
melebihi ambang batas.
6
Studi Toksisitas Timbal menunjukkan bahwa kandungan Timbal dalam
darah sebanyak 100 mikrogram/l dianggap sebagai tingkat aktif (level action)
berdampak pada gangguan perkembangan dan penyimpangan perilaku.
Sedangkan kandungan Timbal 450 mikrogram/l membutuhkan perawatan segera
dalam waktu 48 jam. Lalu, kandungan Timbal lebih dari 700 mikrogram/l
menyebabkan kondisi gawat secara medis (medical emergency). Untuk
kandungan timbal di atas 1.200 mikrogram/l bersifat sangat toksik dan dapat
menimbulkan kematian pada anak. Kadar Timbal 68 mikrogram/l dapat
menyebabkan anak makin agresif, kurang konsentrasi, bahkan menyebabkan
kanker. Hal ini diduga meningkatkan kasus infeksi saluran pernapasan atas (ISPA)
anak-anak. Timbal yang terserap oleh anak, walaupun dalam jumlah kecil, dapat
menyebabkan gangguan pada fase awal pertumbuhan fisik dan mental yang
kemudian berakibat pada fungsi kecerdasan dan kemampuan akademik. Sistem
syaraf dan pencernaan anak masih dalam tahap perkembangan, sehingga lebih
rentan terhadap timbal yang terserap. Pada kadar rendah, keracunan timbal pada
anak dapat menyebabkan penurunan IQ dan pemusatan perhatian, kesulitan
membaca dan menulis, hiperaktif dan gangguan perilaku, gangguan pertumbuhan
dan fungsi penglihatan dan pergerakan, serta gangguan pendengaran.
Pada kadar tinggi, keracunan timbal pada anak dapat menyebabkan: anemia,
kerusakan otak, liver, ginjal, syaraf dan pencernaan, koma, kejang-kejang atau
epilepsi, serta dapat menyebabkan kematian. Anak dapat menyerap hingga 50
persen timbal yang masuk ke dalam tubuh, sedangkan dewasa hanya menyerap
10-15 persen. Anak dapat menyerap tiga kali dosis lebih besar dibandingkan
orang dewasa karena memiliki perbandingan permukaan penyerapan dan volume
yang lebih besar.
Penduduk di negara berkembang, terutama anak-anak, terancam paparan
timbal yang sangat besar disebabkan oleh:
(a) Belum ada peraturan tentang emisi industri dan penggunaan bahan bakar
yang mengandung timbal,
(b) lemahnya pelaksanaan peraturan lingkungan dan keselamatan kerja,
(c) Banyaknya industri rumah tangga pelapisan dan pengolahan logam
7
(d) penerapan budaya tertentu seperti penggunaan alat masak dari keramik
mengandung timbal dan penggunaan timbal untuk bahan kosmetik.
G.2 Pengertian Adsorpsi (Penyerapan)
Penyerapan suatu zat oleh zat lain disebut sorpsi. Ada 2 jenis sorpsi yaitu
absorpsi dan adsorpsi. Pada adsorpsi zat yang diserap hanya terdapat pada bagian
permukaan zat penyerap, sedangkan pada absorpsi zat yang diserap sampai ke
bagian dalam zat penyerap. Zat yang terserap disebut absorbat, yang dapat berupa
gas, zat cair atau zat padat yang terlarut dan zat penyerap disebut absorben yang
dapat berupa zat padat. Proses absorpsi terjadi karena adanya interaksi antara
absorbat dengan absorben (Redhana, 1994).
Menurut Dwiyanti (dalam Sukiasih, 2004), pemilihan adsorben harus
memperhatikan sifat, tingkat keaktifan dan ukuran partikelnya. Daya adsorpsi
suatu adsorben akan lebih efektif jika adsorben tersebut mempunyai ukuran
partikel kecil (halus) dan massa jenis yang rendah.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sorpsi (penyerapan) antara lain
temperatur, polaritas, porositas dan waktu kontak.
1. Temperatur
Menurut Oscik dan Cooper (dalam Tapawana, 2004), gaya-gaya antar
adsorbat dan adsorben akan semakin lemah dengan kenaikan tenperatur karena
kenaikan temperatur akan menaikkan energi kinetik antar adsorbat dan adsorben.
2. Polaritas
Adsorben bersifat polar cenderung mengadsorpsi komponen-komponen yang
bersifat polar. Hal ini disebabkan karena interaksi antar molekul polar dengan
polar lebih kuat daripada interaksi antar molekul polar dengan non polar dan
sebaliknya (Redhana, 1994).
3. Porositas
Adsorben yang mempunyai permukaan yang porous (banyak pori) akan
mempunyai daya adsorpsi yang lebih besar daripada adsorben yang kurang
bersifat porous. Hal ini dapat dipahami karena adsorben yang mempunyai
8
permukaan yang lebih porous (mempunyai luas permukaan yang lebih besar)
sehingga interaksi yang diadsorpsi semakin banyak terjadi terjadi antar adsorbat
dan adsorben (Oscik dan Cooper ,dalam Tapawana, 2004).
4. Waktu Kontak
Jumlah suatu zat yang teradsorpsi pada permukaan padatan merupakan
proses yang berkesetimbangan. Tercapainya kesetimbangan adsorpsi ada yang
berlangsung cepat dan ada yang berlangsung lambat. Kesetimbangan yang
tercapai secara cepat berlangsung secara Fisika dan secara lambat berlangsung
secara kimia. Waktu kontak tercapainya kesetimbangan disebut waktu kontak
maksimum. Proses adsorpsi dikatakan berhenti jika sudah tercapai kesetimbangan,
namun secara mikroskopis proses adsorpsi masih tetap berlangsung karena terjadi
kesetimbangan dinamik (Oscik dan Cooper, dalam Tapawana, 2004).
G.3 Adsorpsi Fisik dan Kimia
Partikel-partikel teradsorpsi pada bagian permukaan adsorben terjadi
melalui dua cara yaitu secara fisika (fisiosorpsi) dan adsorpsi secara kimia
(kemisorpsi). Jika gaya-gaya yang bekerja antara adsorbat dengan adsorben
adalah gaya van der Waals, maka terjadi fisiosorpsi. Molekul-molekul yang
terikat dengan ikatan lemah dan energi yang dilepaskan pada adsorpsi fisika relatif
rendah sekitar 20 kj/mol. Adsorpsi molekul zat terlarut oleh permukaan zat padat
biasanya membentuk monolayer sedangkan pembentukan multilayer jarang
ditemukan (Castellan, dalam Sutariani, 2004).
Pada kemisorpsi, partikel-partikel yang teradsorpsi bereaksi secara kimia
dengan adsorben. Kemisorpsi membentuk satu lapisan molekul (monolayer) dan
dapat terjadi pada temperatur tinggi. Energi yang dilepaskan sebesar 100-400
kj/mol. Menurut Castellan (dalam Sutariani, 2004) kemisorpsi diawali oleh
adsorpsi fisik, yaitu partikel-partikel adsorbat menempel pada permukaan
adsorben melalui gaya van der Waals atau ikatan Hidrogen.
9
G.4 Isoterm Adsorpsi dan persamaan isoterm
G.4.1. Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi adalah adsorpsi yang berlangsung pada temperatur
konstan. Secara umum jumlah gas atau cairan yang diadsorpsi merupakan fungsi
dari tekanan atau konsentrasi kesetimbangan dan temperatur, secara matematis
dituliskan seperti di bawah ini:
x/m=f(P,T)…………………………………………………………… (D.1)
x/m=f(c,T)…………………………………………………………… (D.2)
dimana x/m adalah massa adsorbat yang teradsorpsi (dinyatakan dalam gram) per
satu satuan massa adsorben (dinyatakan dalam gram), c adalah konsentrasi bebas
dalam larutan (dinyatakan dalam ppm), P adalah tekanan kesetimbangan
(dinyatakan dalam atm), dan T adalah temperatur absolut (dinyatakan dalam
Kelvin). Grafik isoterm adsorpsi ditunjukkan pada Gambar G.1.
x/m
Gambar G.1 Grafik isotherm adsorpsi
G.4.2. Persamaan Isoterm Adsorpsi
Untuk isoterm adsorpsi, persamaan D.1 dan persamaan D.2 masingmasing
menjadi :
x/m=f(P)…………………………………………………………………(D.3)
Tek
Tekanan atau konsentrasi
10
x/m=f(c)………………………………………………………………….(D.4)
Jadi banyaknya massa adsorbat yang teradsorpsi per satu satuan massa
adsorben merupakan fungsi tekanan kesetimbangan (untuk gas) atau konsentrasi
kesetimbangan (untuk larutan).
Ada dua persamaan yang sering dipakai untuk menjelaskan proses
adsorpsi yaitu persamaan isoterm adsorpsi Freundlich dan persamaan isotherm
adsorpsi Langmuir. Kedua persamaan ini berdasarkan terbentuknya lapisan satu
molekul (monolayer) dari molekul-molekul adsorbat pada permukaan adsorben.
Bird (dalam Sutariani, 2004), persamaan isotherm adsorpsi Freundlich
merupakan persamaan empirik sebagai berikut :
x/m=k.c1/n
Harga k dan n dapat dievaluasi dari persamaan logaritmanya sebagai berikut :
Log (x/m)=log k + 1/n log c
Dimana x/m merupakan jumlah zat yang diserap per satuan massa adsorben, k dan
n adalah suatu konstantan, dan c adalah konsentrasi kesetimbangan.
Untuk menentukan suatu pola isoterm adsorpsi sesuai dengan pola isoterm
adsorpsi Freundlich dapat dilakukan dengan cara memplotkan log x/m terhadap
log c. Apabila plot log x/m terhadap log c merupakan garis lurus maka pola
isoterm adsorpsi tersebut sesuai dengan pola isoterm adsorpsi Freundlich.
Persamaan kedua adalah persamaan isoterm adsorpsi Langmuir.
Langmuir mengasumsikan bahwa pada permukaan adsorben terdiri dari sisi
pengikat (sisi adsorpsi), yang masing-masing sisi adsorpsi hanya dapat mengikat
hanya satu molekul adsorbat. Persamaan ini berlaku untuk adsorpsi lapisan
tunggal (monolayer) pada permukaan adsorben yang homogen. Persamaan
Langmuir dapat diturunkan secara teoritis dengan menganggap terjadinya
kesetimbangan antara molekul-molekul adsorbat dengan molekul-molekul zat
yang masih bebas (fase ruah). Isoterm adsorpsi tersebut dapat dituliskan sebagai
berikut.
11
( ) ( ) c
m
m k x
x
m
x
c
maks maks
.
1
.
1 = +
Dimana x/m adalah jumlah zat yang diserap per satuan massa adsorben,
k adalah suatu konstanta (x/m)maks adalah kapasitas monolayer, dan c adalah
konsentrasi molekul zat terlarut yang bebas dalam larutan.
Untuk menentukan suatu pola isoterm adsorpsi sesuai dengan pola
isoterm adsorpsi Langmuir dilakukan dengan cara memplotkan c/(x/m) terhadap
c. Apabila grafik c/(x/m) terhadap c merupakan garis lurus maka pola isoterm
adsorpsi tersebut sesuai dengan pola isoterm adsorpsi Langmuir.
G.5. Adsorpsi Ion Logam oleh Padatan
Menurut Underwood (1993), jika suatu adsorben atau penyerap berada
dalam suatu larutan atau cairan murni, maka terdapat kecenderungan molekulmolekul
pelarut atau zat terlarut berinteraksi dengan adsorben tersebut. jika
adsorben tersebut permukaannya luas atau berpori-pori, maka akan terjadi
peristiwa adsorpsi yang lebih besar.
Beberapa mekanisme yang mungkin terjadi pada peristiwa adsorpsi,
dikemukakan oleh Gibbs, yaitu:
1. Gaya Van der Walls,
2. Pembentukan ikatan hidrogen,
3. Pembentukan ikatan kovalen atau kompleks koordinasi,
4. Pertukaran ion atau gaya elektrostatik.
Adsorben yang bersifat polar akan lebih kuat menyerap komponen yang
bersifat polar dari pada komponen yang kurang polar. Semakin besar kepolaran
adsorben, maka interaksi dengan komponen yang polar semakin kuat. Pertukaran
ion pada permukaan zat padat, dalam hal ini misalnya gugus OH dalam suatu
adsorben yang polar menurut Schinder (dalam Yantri, 2000) adalah sebagai
berikut:
12
Gambar G.2 Mekanisme pengikatan ion logam divalen oleh gugus OH
di mana M2+ adalah ion logam, S OH adalah gugus hidroksil pada
permukaan adsorben.
G.6 Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) dan Tulang Ikan
Ikan tongkol (Euthynnus affinis) di golongkan dalam kelompok perikanan
tuna, yaitu keluarga Scombridae berukuran kecil, sedang dan besar (Idrus, 2009).
Ikan tongkol yang tergolong famili scombroidae, jika dibiarkan pada suhu kamar,
maka segera akan terjadi proses penurunan mutu, menjadi tidak segar lagi dan jika
ikan tongkol ini dikonsumsi akan menimbulkan keracunan. Keracunan ini
disebabkan oleh kontaminasi bakteri pathogen seperti Escherichia coli,
Salmonella, Vibrio cholerae, Enterobacteriacea dan lain-lain. Salah satu jenis
keracunan yang sering terjadi pada ikan tongkol adalah keracunan histamin
(scombroid fish poisoning) karena ikan jenis ini mengandung asam amino histidin
yang dikontaminasi oleh bakteri dengan mengeluarkan enzim histidin
dekarboksilase sehingga menghasilkan histamin. Bakteri ini banyak terdapat pada
anggota tubuh manusia yang tidak higienis, kotoran/tinja, isi perut ikan serta
peralatan yang tidak bersih.
13
Kasus-kasus keracunan akibat mengkonsumsi ikan masih sering terjadi.
Untuk itu upaya penanganan ikan tongkol selama penyimpanan dengan penerapan
teknologi tepat guna berupa penyiangan isi perut dan insang serta penyimpanan
pada suhu rendah perlu dilakukan. Peningkatan keamanan ikan tongkol (Auxis
tharzard, Lac) dengan penerapan teknologi tepat guna ditinjau dari mutu kimiawi,
mikrobiologis dan organoleptik yang terbaik diperoleh pada perlakuan penyiangan
dan suhu penyimpanan 0oC, kemudian berturut-turut diikuti oleh tanpa
Gambar G.3 Ikan tongkol
14
penyiangan dan suhu penyimpanan 0oC, penyiangan dan suhu penyimpanan 15oC,
tanpa penyiangan dan suhu penyimpanan 15oC, penyiangan dan suhu
penyimpanan 30oC serta tanpa penyiangan dan suhu penyimpanan 30oC.
Temuan baru pada penelitian ini adalah penyiangan dan tanpa penyiangan
dengan suhu penyimpanan 0oC mampu memperpanjang waktu simpan dan aman
untuk dikonsumsi sampai hari ke 10, dibandingkan dengan penyiangan dan suhu
penyimpanan 15oC sampai di bawah 6 hari, berikutnya tanpa penyiangan dan suhu
penyimpanan 15oC di bawah 4 hari, kemudian penyiangan dan tanpa penyiangan
dengan suhu penyimpanan 30oC hanya aman sampai di bawah 1 hari.
Pada ikan tongkol yang tidak disimpan dengan baik, antara lain dengan
membiarkan ikan berada pada suhu ruang selama 12 jam, maka pada ikan tersebut
akan berkembang bakteri seperti Escherichia coli, Proteus Sp, atau Klebsiella Sp.
Bakteri-bakteri ini mempunyai enzim yang disebut histidin dekarboksilase. Fungsi
enzim ini adalah mengubah histidin, yang banyak terdapat pada daging ikan,
menjadi histamin. Histamin inilah yang menjadi penyebab timbulnya gejala
keracunan.
Cara mencegah keracunan antara lain adalah dengan :
1. Menyimpan ikan dalam ruang pendingin sejak ditangkap hingga akan dimasak,
2. Tidak membeli ikan yang sudah tidak segar lagi atau telah mengeluarkan bau
busuk,
3. Segera membersihkan ikan yang telah dibeli termasuk membuang isi perutnya
sebelum disimpan dalam ruang pendingin.
Seperti pada golongan vertebrata lainya, rangka pada ikan berfungsi untuk
menegakan tubuh, menunjang atau menyokong organ-organ tubuh, melindungi
organ-organ tubuh, serta berfungsi dalam pembentukan butir darah merah. Pada
beberapa ikan modifikasi tulang penyokong sirip menjadi penyalur sperma ke
dalam saluran reproduksi ikan betina. Secara tidak langsungrangka menentukan
bentuk ikan yang beraneka ragam. Bentuk tubuh ikan sebenarnya merupakan
interaksi antara sistem rangka dengan sistem otot serta evaluasi dalam adaptasi
kedua sistem tersebut terhadap lingkungnnya. Rangka yang menjadi penegak
tubuh ikan yang terdiri dari tulang sejati dan ada tulang yang terdiri dari tulang
rawan saja. Seluruh rangka Elasmobrachii terdiri dari tulang rawan, sedangkan
15
Osteichtycs terdiri dari tulang sejati. Sebagian bersar tulang ini pada permulaanya
bentuk melalui tahap tulang rawan, kemudian materialnya menjadi tulang sejati
dalam bentuk yang khusus melalui proses osifikasi.
Rangka ikan dapat dibedakan menjadi tiga macam bagian yang pertama,
rangka axial terdiri dari tulang tengkorak, tulang punggung dan rusuk. Kedua
rangka visceral meliputi semua bagian tulang lengkung insang derivatnya. Ketiga
rangka pendicular yaitu sirip dengan pelekat-pelekatnya (Trijoko, 2009).
G.7 Gelatin
Gelatin adalah derivat protein dari serat kolagen yang ada pada kulit,
tulang,dan tulang rawan. Susunan asam aminonya hampir mirip dengan kolagen,
dimana glisin sebagai asam amino utama dan merupakan 2/3 dari seluruh asam
amino yang menyusunnya, 1/3 asam amino yang tersisa diisi oleh prolin dan
hidroksiprolin (Chaplin, 2005). Asam-asam amino saling terikat melalui ikatan
peptida membentuk gelatin. Susunan asam amino gelatin berupa Gly-X-Y dimana
X umumnya asam amino prolin dan Y umumnya asam amino hidroksiprolin.
Tidak terdapatnya triptofan pada gelatin menyebabkan gelatin tidak dapat
digolongkan sebagai protein lengkap (Grobben, et al. 2004). Berat molekul gelatin
rata-rata berkisar antara 15.000 – 250.000. Menurut Chaplin (2005), berat
Gambar G.4 Tulang ikan tongkol
16
molekul gelatin sekitar 90.000 sedangkan rata-rata berat molekul gelatin
komersial berkisar antara 20.000 – 70.000.
Gelatin terbagi menjadi dua tipe berdasarkan perbedaan proses
pengolahannya, yaitu tipe A dan tipe B. Dalam pembuatan gelatin tipe A, bahan
baku diberi perlakuan perendaman dalam larutan asam sehingga proses ini dikenal
dengan sebutan proses asam. Sedangkan dalam pembuatan gelatin tipe B,
perlakuan yang diaplikasikan adalah perlakuan basa. Proses ini disebut proses
alkali (Utama, 1997).
Bahan baku yang biasanya digunakan pada proses asam adalah tulang dan
kulit babi, sedangkan bahan baku yang biasa digunakan pada proses basa adalah
tulang dan kulit jangat sapi. Menurut Wiyono (2001), gelatin ikan dikatagorikan
sebagai gelatin tipe A. Secara ekonomis, proses asam lebih disukai dibandingkan
proses basa. Hal ini karena perendaman yang dilakukan dalam proses asam relatif
lebih singkat dibandingkan proses basa.
Proses perubahan kolagen menjadi gelatin melibatkan tiga perubahan berikut:
1. Pemutusan sejumlah ikatan peptida untuk memperpendek rantai
2. Pemutusan atau pengacauan sejumlah ikatan camping antar rantai
3. Perubahan konfigurasi rantai
Gelatin larut dalam air, asam asetat dan pelarut alkohol seperti gliserol,
propilen glycol, sorbitol dan manitol, tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton,
karbon tetraklorida, benzen, petroleum eter dan pelarut organic lainnya. Menurut
Norland (1997), gelatin mudah larut pada suhu 71,1oC dan cenderung membentuk
gel pada suhu 48,9 oC. Sedangkan menurut Montero, et al. (2000), pemanasan
yang dilakukan untuk melarutkan gelatin sekurang-kurangnya 49oC atau biasanya
pada suhu 60 –70oC.
Gelatin memiliki sifat dapat berubah secara reversible dari bentuk sol ke
gel, membengkak atau mengembang dalam air dingin, dapat membentuk film,
mempengaruhi viskositas suatu bahan, dan dapat melindungi sistem koloid
(Parker, 1982). Menurut Utama (1997), sifat-sifat seperti itulah yang membuat
gelatin lebih disukai dibandingkan bahan-bahan semisal dengannya seperti gum
xantan, keragenan dan pektin.
Pada prinsipnya proses pembuatan gelatin dapat dibagi menjadi dua macam,
17
yaitu proses asam dan proses basa. Perbedaan kedua proses ini terletak pada
proses perendamannya. Berdasarkan kekuatan ikatan kovalen silang protein dan
jenis bahan yang diekstrak, maka penerapan jenis asam maupun basa organik dan
metode ekstraksi lainnya seperti lama hidrolisis, pH dan suhu akan berbeda-beda
(Gilsenan, et.al, 2000)
Menurut Hinterwaldner (1977), proses produksi utama gelatin dibagi dalam tiga
tahap : 1) tahap persiapan bahan baku antara lain penghilangan komponen non
kolagen dari bahan baku, 2) tahap konversi kolagen menjadi gelatin, dan 3) tahap
pemurnian gelatin demean penyaringan dan pengeringan. Pada tahap persiapan
dilakukan pencucian pada kulit dan tulang. Kulit atau tulang dibersihkan dari sisasisa
daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung deposit-deposit lemak yang
tinggi. Untuk memudahkan pembersihan maka sebelumnya dilakukan pemanasan
pada air mendidih selama 1 –2 menit (Pelu, et al., 1998). Proses penghilangan
lemak dari jaringan tulang yang biasa disebut degresing, dilakukan pada suhu
antara titik cair lemak dan suhu koagulasi albumin tulang yaitu antara 32 – 80oC
sehingga dihasilkan kelarutan lemak yang optimum (Wars dan Courts, 1977).
Pada tulang, sebelum dilakukan pengembungan terlebih dahulu dilakukan proses
demineralisasi yang bertujuan untuk menghilangkan garam kalsium dan garam
lainnya dalam tulang, sehingga diperoleh tulang yang sudah lumer disebut ossein
(Utama, 1997). Menurut Wiyono (1992), asam yang biasa digunakan dalam
proses demineralisasi adalah asam klorida dengan konsentrasi 4 – 7 %. Sedangkan
menurut Hinterwaldner (1977), proses demineralisasi ini sebaiknya dilakukan
dalam wadah tahan asam selama beberpa hari sampai dua minggu.
Selanjutnya pada kulit dan ossein dilakukan tahap pengembungan
(swelling) yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran dan
mengkonversi kolagen menjadi gelatin (Surono, et al., 1994). Pada tahap ini
perendaman dapat dilakukan dengan larutan asam organik seperti asam asetat,
sitrat, fumarat, askorbat, malat, suksinat, tartarat dan asam lainnya yang aman dan
tidak menusuk hidung. Sedangkan asam anorganik yang biasa digunakan adalah
asam hidroklorat, fosfat, dan sulfat. Jenis pelarut alkali yang umum digunakan
adalah sodium karbonat, sodium hidroksida, potassium karbonat dan potassium
hidroksida (Choi and Regestein, 2000). Menurut Ward dan Court (1977) asam
18
mampu mengubah serat kolagen triple heliks menjadi rantai tunggal, sedangkan
larutan perendam basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda. Hal ini
menyebabkan pada waktu yang sama jumlah kolagen yang dihidrolisis oleh
larutan asam lebih banyak daripada larutan basa. Karena itu perendaman dalam
larutan basa membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghidrolisis kolagen.
Menurut Utama (1997), tahapan ini harus dilakukan dengan tepat (waktu dan
konsentrasinya) jika tidak tepat akan terjadi kelarutan kolagen dalam pelarut yang
menyebabkan penurunan rendemen gelatin yang dihasilkan.
Hasil penelitian Surono et al., (1994) dalam pembuatan gelatin dari kulit
ikan cucut menunjukkan bahwa pada tahap pengembungan kulit lama perendaman
yang terbaik adalah 24 jam dengan konsentrasi asam asetat 4%. Sedangkan
Ariyanti (1998), dalam pembuatan gelatin dari tulang domba menggunakan
larutan HCl 5 % dengan waktu perndaman 1 –2 hari. Tahapan selanjutnya, kulit
dan ossein diekstraksi dengan air yang dipanaskan. Ekstraksi bertujuan untuk
mengkonversi kolagen menjadi gelatin. Suhu minimum dalam proses ekstraksi
adalah 40 – 50oC (Choi and Regenstein, 2000) hingga suhu 100oC (Viro, 1992).
Ekstraksi kolagen tulang dilakukan dalam suasana asam pada pH 4 – 5 karena
umumnya pH tersebut merupakan titik isoelektrik dari komponen-komponen
protein non kolagen, sehingga mudah terkoagulasi dan dihilangkan
(Hinterwaldner, 1997) Apabila pH lebih rendah perlu penanganan cepat untuk
mencegah denaturasi lanjutan (Utama, 1997).
Larutan gelatin hasil ekstraksi kemudian dipekatkan terlebih dahulu
sebelum dilakukan pengeringan. Pemekatan dilakukan untuk meningkatkan total
solid larutan gelatin sehingga mempercepat proses pengeringan. Hal ini dapat
dilakukan dengan menggunakan evaporator vakum, selanjutnya dikeringkan
dalam oven pada suhu 40 –50oC (Choi and Regenstein, 2000) atau 60 – 70oC
(Pelu et al., 1994). Pengecilan ukuran dilakukan untuk lebih memperluas
permukaan bahan sehingga proses dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna.
Dengan demikian gelatin yang dihasilkan lebih reaktif dan lebih mudah digunakan
(Utama, 1997).
19
G.8 SSA (Spektroskopi Serapan Atom) atau AAS (Atomic Absorption
Spectrophotometer)
AAS adalah salah satu metode spektroskopi yang sangat berguna untuk
menganalisis kadar logam dalam jumlah renik/kecil. Prinsip kerja AAS adalah
pengukuran intensitas yang diserap sampel yang harus diuraikan menjadi atomatom
netral yang berada dalam keadaan dasarnya dan diukur pada panjang
gelombang tertentu. Metode AAS dapat digunakan untuk menganalisis unsurunsur
logam pada konsentrasi dari kuantitas trans (renik) sampai kuantitas makro.
Metode ini mampu menganalisis kadar logam dalam berbagai pelarut (Rochman,
2001). Dalam analisis secara AAS, unsur yang dianalisis harus dikembalikan
kekeadaan dasar sebagai atom netral. Proses ini berlangsung dengan jalan larutan
sampel yang dianalisis disedot lewat pipa kapiler dan selanjutnya disemprotkan
sebagai kabut ke dalam nyala api pada temperatur terjadi penguraian senyawa
organik.
Prinsip kerja AAS adalah sebagai berikut. Larutan sampel yang dianalisis
disedot lewat pipa kapiler dan selanjutnya disemprotkan ke dalam nyala lewat alat
pengkabut (nebulizer). Dalam nyala terjadi proses pengatoman sampel. Atom
yang terbentuk semula berada dalam keadaan dasar (ground state), namun
kemudian dengan menyerap cahaya dari lampu katoda, atom tersebut mengalami
eksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Atom yang semula berada dalam
keadaan tereksitasi kembali ke tingkat energi dasar dengan melepaskan
energi/cahaya. Selanjutnya energi/cahaya tersebut ditangkap oleh monokromator,
kemudian di baca oleh detektor dan diolah menjadi data output dalam bentuk
skala meter atau data digital. Keseluruhan proses ini seperti terlihat pada (Gambar
G.5 di bawah ini).
20
Gambar G.5 Diagram Blok Instrumen AAS (Hendayana,dkk.,1994)
Suatu atom dikatakan dalam keadaan tingkat energi dasar apabila elektron
ini terdapat pada tingkat paling rendah. Elektron ini dapat pindah ketingkat energi
yang lebih tinggi bila elektron tersebut dikenai cahaya. Bila elektron pindah ke
tingkat energi yang lebih rendah maka akan memancarkan energi dalam bentuk
cahaya.
Kemampuan untuk mengadsorpsi cahaya tergantung dari energi cahaya
yang digunakan. Bila sumber cahaya menghasilkan pancaran kontinu,
mengakibatkan perubahan intensitas cahaya yang diteruskan melalui atom-atom
kecil. Dengan demikian kepekaan analisis akan berkurang. Untuk mengatasi
keadaan tersebut, pada AAS digunakan lampu katode khusus yang dibuat atau
dilapisi dengan logam yang sama dengan unsur yang dianalisis akibatnya akan
dihasilkan pancaran cahaya kontinu dengan panjang gelombang atau energi yang
tepat sama dengan energi atom-atom yang dianalisis (Ismono, 1978).
Dengan menggunakan lampu katode khusus yang mempunyai panjang
gelombang tetentu (sesuai dengan unsur yang dianalisis), AAS spesifik untuk
setiap unsur. Besar intensitas cahaya yang diserap tergantung dari kadar atomnya.
Dalam hal ini berlaku hukum Lambert Beer yang dapat ditulis dengan rumus:
I
dI = -k .C. db ...…………………………………………………………(1)
I
ln I t = -k. C. db .…………………………………………………………..(2)
It
log I0 = k .b.C 2,303
- atau …...………….……………………. ……………….(3)
Lampu katoda
Lensa Lensa Detektor
Larutan Cuplikan
Gas bahan bakar
O2
Pengukur
21
I t
log I 0 = - e .b.C …………….. ……..……………………………………...(4)
Dimana C adalah konsentrasi larutan dalam molar. Jika konsentrasi larutan dalam
bentuk gram/liter maka rumus 4 menjadi:
0
log I
I t = - a. b. C .……………………………………..……………………(5)
It/I0 disebut konsentrasi trasmitan(T) maka
log T = -e. b.C atau ……….………………………………………………(6)
–log T =e.b.C ……………………………………………………………....(7)
Dengan ketentuan:
I0 : intensitas cahaya datang
a : koefisien aktivitas
e : koefisien aktivasi molar
C : konsentrasi
A : absorbansi
b : tebal kuvet
Cara untuk menentukan konsentrasi larutan sampel adalah dengan
membandingkan absorbansi (A) larutan sampel dengan absorbansi larutan standar
yang diketahui konsentrasinya. Selanjutnya dibuat kurva kalibrasi yaitu grafik
hubungan antara absorbansi (A) terhadap konsentrasi larutan standar yang berupa
garis lurus. Larutan sampel diukur absorbansinya, kemudian diplot pada kurva
kalibrasi tersebut. Dengan demikian konsentrasi sampel dapat ditentukan.
22
Gambar G.6 Kurva Hukum Lambert Beer (kurva kalibrasi)
(Sumber: Rochman, 2001)
H. METODE PENELITIAN
H.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental laboratorium murni
yaitu dengan melakukan percobaan di laboratorium mengikuti prosedur kerja yang
telah ada. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Biologi Undiksha singaraja.
Eksperimen yang dilakukan yaitu menentukan efektifitas penyerapan logam Pb
dan kapasitas penyerapannya.
23
H.2 Subyek dan Obyek
Subyek dalam penelitian ini adalah logam timbal (Pb) yang diserap menggunakan
serbuk tulang ikan tongkol (Euthynnus affinis) . Obyek dalam penelitian ini
adalah kadar timbal (Pb) setelah diserap oleh serbuk tulang ikan .
H.3 Instrumen Penelitian
Adapun alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
magnetik stirer, hotplate, lampu spiritus, jarum ose, autoklave, sentrifuge,
mikroskop, AAS, labu ukur, cawan petri, timbangan digital, glasswool, milipore,
erlemeyer, batang pengaduk, shaker model 3508-1, inkubator, kertas saring,
aluminium foil, kain kasa, dan spite. Alat-alat gelas dan plastik yang digunakan
disterilisasi dengan autoclave pada suhu 1210C, tekanan 15 psi selama 15 menit.
treatmen
Pembahasan dan Pelaporan Hasil
Analisis Data
Diuji dengan AAS
Data
Gambar H.1 Rancangan Penelitian
Sampel
24
Bahan-bahan yang diperlukan penelitian ini meliputi alkohol 70%, spiritus, tulang
ikan tongkol (Euthynnus affinis), dan PbSO4, kertas pH/pH meter, kapas.
H.4 Jenis data
Data yang diperoleh adalah data kuantitatif berupa data konsentrasi timbal
(Pb) yang teradsorpsi oleh serbuk dari tulang ikan tongkol (Euthynnus affinis).
H.4.1 Teknik Pengumpulan data
Gambar H.2 Metode penelitian dan keterkaitan antar masing-masing tahap
kegiatan
Persiapan tulang
ikan tongkol
(Euthynnus
affilis)
Pembuatan
Larutan Sampel
ion Pb2+
pembuatan
serbuk tulang
ikan tongkol
(Euthynnus
affinis)
Penentuan
Kapasitas
Adsorpsi
Maksimum
Larutan ion Pb2+
oleh limbah
tulang ikan
tongkol
(Euthynnus
affinis)
Penentuan
waktu kontak
optimum
adsorpsi larutan
ion Pb2+ oleh
serbuk tulang
ikan tongkol
(Euthynnus
affinis)
Desain Reaktor
sederhana
Analisis
konsentrasi ion
Pb2+ yang
teradsorpsi oleh
limbah tulang
ikan
Analisis massa
limbah tulang
ikan yang
digunakan
mengadsorpsi
ion Pb2+
Publikasi ilmiah
Paten
25
Data yang diperoleh didapatkan dengan melakukan 2 (dua) tahap percobaan
meliputi: tahap persiapan dan tahap pelaksanaan percobaan.
1. Tahap persiapan
a. Penentuan lokasi dan tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Organik Jurusan Pendidikan Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan
Ganesha.
b. Penentuan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010.
c. Sterilisasi alat
Alat-alat gelas yang digunakan disterilkan dalam oven pada suhu 180oC selama
120 menit, medium disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121o, 15 psi selama
15 menit
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pembuatan serbuk dari tulang ikan tongkol
- menyiapkan alat dan bahan
- membersihkan tulang ikan tongkol (Euthynnus affinis) dari sisa-sisa daging
dan lemak dengan cara direndam dengan air mendidih selama 30 menit
dan diaduk perlahan
- tulang yang sudah bersih ditiriskan
- menggiling tulang ikan sampai berbentuk serbuk
b. Penentuan waktu kontak optimum adsorpsi larutan ion Pb2+ oleh serbuk
tulang ikan tongkol (Euthynnus affinis)
Menyiapkan 7 buah tabung reaktor mini, ke dalam masing-masing tabung
di masukkan 10 mL larutan ion Pb2+ 10 ppm dan 0,25 gram serbuk tulang ikan
26
tongkol (Euthynnus affinis), dengan waktu kontak masing-masing 1, 2, 3, 4, 5, 6,
dan 7 jam. Filtrat yang diperoleh dari masing-masing larutan diambil sebanyak 5
mL dan diukur absorbansinya dengan menggunakan AAS. Konsentrasi
sebenarnya ditentukan dengan bantuan kurva kalibrasi. Dari kurva kalibrasi dapat
ditentukan adsorpsi maksimum dan waktu kontak optimum. Waktu kontak
optimum ini selanjutnya digunakan sebagai waktu untuk menentukan kapasitas
adsorpsi larutan ion Pb2+ dengan konsentrasi masing-masing 2, 4, 6, 8, dan 10
ppm.
c. Penentuan Kapasitas Adsorpsi Maksimum Larutan ion Pb2+ oleh serbuk
tulang ikan tongkol (Euthynnus affinis) pada waktu kontak optimum
Menyiapkan 5 buah tabung reaktor mini, masing-masing di masukkan
larutan ion Pb2+ sebanyak 10 mL dengan konsentrasi berbeda yaitu 2, 4, 6, 8, dan
10 ppm. Ke dalam larutan ini dimasukkan serbuk tulang ikan tongkol (Euthynnus
affinis), masing-masing sebanyak 0,25 gram. Kemudian dibiarkan selama waktu
kontak optimum. Dari filtrat yang diperoleh, diambil sebanyak 5 mL diukur
absorbansinya dengan menggunakan AAS.
H.5 Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian berupa data kuantitatif dan kualitatif.
Data tersebut disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, selanjutnya data tersebut
dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
Hasil studi empirik mekanisme tambahan serta hambatan-hambatan di
laboratorium akan dianalisis secara deskriptif kualitatif.
27
I. JADWAL KEGIATAN PROGRAM
No KEGIATAN
Bulan ke-
1 2 3 4 5 6
1 Pengajuan Usulan PKM
2 Pengumuman diterima Dikti
3 Penyiapan alat dan bahan
4 Pembuatan serbuk tulang ikan tongkol
(Euthynnus affinis) dan preparasi larutan
timbal (Pb)
5 - Penentuan waktu kontak optimum
adsorpsi larutan ion Pb2+ oleh serbuk
tulang ikan tongkol (Euthynnus affinis)
- Penentuan Kapasitas Adsorpsi
Maksimum Larutan ion Pb2+ oleh serbuk
tulang ikan (Euthynnus affinis) pada
waktu kontak optimum
6 Analisis data
7 Pembuatan Laporan Akhir, Seminar,
Revisi, dan Penggandaan Laporan,
Pengiriman Laporan.
28
J. RANCANGAN BIAYA
Rekapitulasi Biaya
No Uraian Rancangan Biaya yang diusulkan dalam (Rp)
1 Bahan habis pakai 1.165.000
2
Biaya pemakaian dan
pemeliharaan alat
3.000.000
3 Transportasi 2.800.000
4 Lain-lain 3.014.000
Total Biaya Keseluruhan Rp 9.979.000
(Sembilan Juta Sembilan Ratus Tujuh Puluh
Sembilan Ribu Rupiah )
RINCIAN ANGGARAN PENELITIAN
1. Bahan habis pakai
No Nama bahan Banyaknya
Harga satuan
(Rp)
Jumlah
Biaya (Rp)
a. alkohol 70% 1 L 30.000 30.000
b. PbSO4 100 mL 500.000 500.000
c. Ikan Tongkol 100 ekor 5.000 500.000
d. Aquades 10 L 10.000/L 100.000
e. Spiritus 1 L 5.000/Liter 5.000
f. Kapas 1 bungkus 3.000 3.000
g. kertas saring 1 gulung 10.000 10.000
h. aluminium foil 1 gulung 10.000 10.000
i. kain kasa 1 gulung 10.000 10.000
J U M L A H 1.165.000
29
2. Biaya Pemakaian dan Pemeliharaan alat
No Nama Alat Banyaknya Harga satuan (Rp)
Jumlah
Biaya (Rp)
a. magnetik stirer 1 buah (Selama
penelitian)
50.000 50.000
b. Penggiling 1 buah 1.000.000 1.000.000
c. Hotplate 5 buah x 10 x
pakai
2.000/buah/pakai 100.000
d. lampu spiritus 5 buah x 10 x
pakai
2.000/pakai 100.000
e. jarum ose 5 buah x 10 x
pakai
1.000/pakai 50.000
f. Autoklave 1 buah x 10 x
pakai
2.000/pakai 20.000
g. Sentrifuge 1 buah (selama
penelitian)
100.000 100.000
h. Mikroskop 5 buah x 10 x
pakai
2.000/pakai 100.000
i. AAS 1 buah x 20 x
pakai
30.000/pakai 600.000
j. cawan petri 5 buah x 10 x
pakai
1.000/pakai 50.000
k. mikropipet dan tip 10 buah x 10 x
pakai
1.000/buah/pakai 100.000
l. timbangan digital 2 buah x 10 x
pakai
2.000/buah/pakai 40.000
m. glasswool 2 buah x 10 x
pakai
1.000/buah/pakai 20.000
n. milipore 2 buah x 10 x
pakai
1.000/buah/pakai 20.000
o. Erlemeyer 2 buah x 10 x
pakai
2.000/buah 40.000
p. batang pengaduk 2 buah x 10 x
pakai
1.000/pakai 20.000
q. shaker model 3508-1 1 buah (Selama
penelitian)
100.000 100.000
r. inkubator 1 buah (selama
penelitian)
100.000 50.000
30
s. Spite 5 buah 2.000/buah 10.000
t. Oven 1 buah (selama
penelitian)
100.000 100.000
u. Pipet tetes 5 buah x 10 x
pakai
1.000/pakai 50.000
v. Tabung reaksi 1 rak (selama
penelitian)
20.000 20.000
w. Gelas kimia 1000 mL 3 buah x 10 x
pakai
1.000/pakai 30.000
x. Desikator 1 buah (selama
penelitian)
50.000 50.000
y. Labu ukur 100 mL 2 buah x 10 x
pakai
1.000/pakai 20.000
z. Labu ukur 10 mL 1 buah x 10 x
pakai
1.000/pakai 10.000
aa. pH meter 1 buah (selama
penelitian)
100.000 50.000
J U M L A H 3.000.000
3. Transportasi
No Uraian Volume
Biaya per perjalanan
(Rp)
Biaya (Rp)
a. Pembelian bahan/zat ke
Denpasar (pp)
2 kali x 4
orang
50.000/orang 400.000
b. Transportasi ketua
peneliti dan anggota ke
laboratorium
20 x 4
orang
20.000/orang 1.600.000
c. Transportasi laboran ke
laboratorium
20 x 1 orang 20.000/orang 400.000
d. Transportasi dosen
pembimbing ke
laboratorium
20 x 1 orang 20.000/orang 400.000
J U M L A H 2.800.000
31
4. Lain – lain
No Uraian Volume/Banyaknya Biaya (Rp) Jumlah (Rp)
a. Pengetikan proposal 12 x 2 jam x 4
orang
2.000/jam 192.000
b. Penggandaan dan
Jilid proposal
4 eksemplar 10.000/eksem
plar
40.000
c. Pengetikkan laporan
akhir
12 x 2 jam x 4
orang
2.000/jam 192.000
d. Penggandaan dan
jilid laporan akhir
4 eksemplar 10.000/eksem
plar
40.000
e. Uang konsumsi
Dosen Pembimbing
dan Laboran
20 x makan x 2
orang
10.000/ makan 400.000
f. Uang konsumsi
ketua peneliti dan
anggota
20 x makan x 4
orang
10.000/ makan 800.000
g. Sewa kamera digital 1 buah (selama
penelitian)
200.000 200.000
h. Cuci cetak 100 foto 1500/foto 150.000
i. Biaya seminar 1 x seminar 1.000.000 1.000.000
J U M L A H 3.014.000
TOTAL BIAYA Rp 9.979.000
32
DAFTAR PUSTAKA
Bird, T. 1987. Kimia Fisik Untuk Universitas. Jakarta: PT Gramedia.
Castellan, G.W. 1983. Physical Chemistry. 3th edition. Toronto : Addison
Wesley Pbissing Compani.
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Mahkluk Hidup. Jakarta : UI
Press.
Evan Putra, Sinly dan Angga Putra, Johan. 2003. Bioremoval, Metode Alternatif
Untuk Menanggulangi Pencemaran Logam Berat. Lampung:
Universitas Lampung
Fuadi, Arif Nasution. 2008. Bahaya Timbal (Timah Hitam). Bandung : Institut
Teknologi Bandung.
Hartono, AJ. dan Kaneko T. 1992. Mengenal Pelapisan Logam
(Elektroplating), Edisi I. Yogyakarta : Andi Offset.
Howel et al. 1995. Friction In Textiles. New York: Textile Book Publisher, Inc.
http://www.tekmira.esdm.go.id/data/Tembaga/ulasan.asp?xdir=Tembaga&com
mId=30&comm=Tembaga (diakses pada tanggal 16 Juli 2007).
http://id.wikipedia.org/wiki/Batu_apung (diakses pada tanggal 24 September
2008)
http://idrus.blogspot.com/2008/05/of-ikan-aya-ikan-tongkol-and-tuna-fish.html
(diakses pada tanggal 5 September 2009)
Junianto, Kiki Haetami dan Ine Maulina. 2006. Produksi Gelatin dari Tulang
IKan dan Pemanfaatannyasebagai Bahan Pembuatan Cangkang Kapsul.
Bandung : Universitas Padjadjaran.
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. (2003). Pengolahan dan
Pemanfaatan Limbah. [http://www. menlh.go.id/usaha kecil/]
Rochman, F. 2001. Service & Maintenance Instrumental Kimia. Makalah
disajikan dalam Workshop. FMIPA Universitas Airlangga Surabaya.
Surabaya 27-31 Agustus 2001.
Underwood, A.L. 2003. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga
Vouk V. 1986. General Chemistry of Metals. In: Freiberg L., Nordberg G.F.,
and Vouk V.B (Eds). Handbook on the Toxicology of Metals. Elsevier.
New York
Wild, A.1995. Soils and The Environtment : An Introductions. Cambridge
University Press. Cambridge, Great Britain.
33

LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Ketua Peneliti
a) Nama : I Putu Wahyu Widagda
b) Tempat dan Tgl. Lahir : Pedawa, 19 Juli 1990
c) Jenis kelamin : Laki-laki
d) Alamat : Jl.Jelantik Gingsir 48A, Sukasada, Singaraja, Bali
e) Hp/e-mail : 085737231320
f) NIM : 0803061012
g) Jurusan : Budidaya Kelautan
h) Fakultas : MIPA
i) Perguruan Tinggi : Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
Riwayat Pendidikan
No. Nama Sekolah Tempat
Tahun Sertifikat
/Gelar
Bidang
Dari Sampai
1. SD N 1 Pedawa Singaraja 1996 2002 Ijasah -
2. SMP N 4 Banjar Singaraja 2002 2005 Ijasah -
3. SMA N 1
Sukasada
Singaraja 2005 2008 Ijasah IPA
4. UNDIKSHA Singaraja 2008 sekarang - Budidaya
Kelautan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar